A.
Mitos Tentang Homoseksual
Fenomena gay telah menjadi isu hangat di beberapa negara. Ada
sebagian negara yang sudah melegalkan hubungan bahkan pernikahan pasangan gay
maupun lesbian. Mereka yang saling menjalin hubungan kemudian ada juga yang
memiliki naluri untuk mengadopsi anak ataupun melakukan inseminasi buatan agar
bisa mendapatkan keturunan dari hubungan sesama jenis ini. Terlepas dari semua
itu, kaum homoseksual sebagian besar diatribusi negatif (karena atribut yang
mereka “buat” sendiri—stigma) dari masyarakat pada umumnya (straight
people) karena perbedaan orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang.
Seperti halnya beberapa kasus kaum homoseksual di bawah ini:
Kasus 1
Crispin Blunt ialah seorang anggota
parlemen Inggris yang mengumumkan bahwa dia telah menceraikan istrinya yang
sudah dinikahinya selama 20 tahun. Hal itu dilakukannya lantaran dia sudah muak
dengan istrinya dan dia mengakui bahwa telah menemui jati dirinya sebagai gay.
Selama 30 tahun dia bergumul dengan homoseksualitas, terbesit dalam pikirannya
untuk sembuh. Namun usahanya ternyata sia-sia, ia tidak sembuh malah menjadi
depresi. Akhirnya ia merasa sudah cukup dengan mengakhiri semuanya dengan
meninggalkan istri dan kedua anaknya.
Kasus 2
Pastur
Eddie Long seorang televangelis baptis yang terkenal di daerahnya. Pada tahun
2004 ia memimpin barisan untuk makam dr. Martin Luther king. Dia pernah
menyatakan bahwa gerejanya dapat memberikan pengarahan kepada orang melalui
homoseksualitas. Akhirnya dia digugat oleh 4 orang pemuda yang mengatakan bahwa
pastur Eddie Long menggunakan ketenaran yang dia dapat untuk mengajak
pemuda-pemuda tersebut memuaskan nafsu seksualnya. Ia menggunakan pengaruhnya
untuk mengambil anak-anak dari
tempat-tempat yang miskin seperti dari negara Kenya. Mereka dibayar kebutuhan
hidupnya, ia juga memberikan hadiah seperti mobil, uang tunai, dan perhiasan
sebagai bayaran untuk saling mastubarsi, oral seks dan memijat.
Dari catatan
seperti salah satu kasus di atas, beberapa mitos tentang homoseksual berkembang
di masyarakat yang tentunya berbeda dengan fakta empiris yang dikomparasikan
dengan hasil riset. Seperti kepercayaan masyarakat bahwa kebanyakan gay
berperilaku feminim, yakni jika mereka berjalan, berbicara, dan paras tubuhnya
seperti wanita. Sebaliknya juga berkembang mitos bahwa kaum lesbian cenderung
berperilaku seperti pria. Namun kenyataannya, sangat sulit membedakan secara
fisik antara mereka yang gay/lesbian dengan orang normal. Kebanyakan dari kaum
gay dan lesbian lebih terlihat seperti “straight people” atau orang
normal heteroseksual.
Mitos yang lain
disebutkan kembali dalam Thio (2010), bahwa gay dan lesbian konsisten memiliki
salah satu peran yang spesifik (sebagai partner aktif/pasif ketika berhubungan
seksual). Begitu juga pada pasangan homoseks, salah satu dari mereka dipercaya
ada yang dominan berperan layaknya “suami” dan “istri”. Namun fakta berkata
lain, ternyata pasangan homoseks keduanya saling mencoba untuk menjalani kedua
alternatif peran. Mereka juga menganggap partner sex mereka seperti dalam hubungan
persahabatan (Peplau, 1981).
Banyak juga
yang mengatakan bahwa seorang gay dan lesbian sangat terobsesi dengan hubungan
seks yang sangat gemar melakukan hubungan seksual setiap saat. Pada
kenyataannya, laki-laki gay memiliki perilaku seks yang sama dengan laki-laki
heteroseksual sebayanya—yakni dua atau tiga kali dalam seminggu. Bahkan pada
wanita lesbian menunjukkan kurang ketertarikannya pada seks—tidak lebih sekali
dalam seminggu, jika dibandingkan dengan wanita yang heteroseksual yang bisa
melakukan seks sampai tiga kali dalam seminggu (Blumstein dan Schwartz, 1990).
Kenyataan yang
cukup mengejutkan sehingga menjadikan salah satu alasan APA pada tahun 1973 menghapus
homoseksualitas dari daftar Diagnostic and Statistical Manual (DSM)
adalah karena ternyata seseorang yang memiliki orientasi seksual sesama jenis
bukan merupakan gangguan kejiwaan. Secara kejiwaan mereka ternyata benar-benar
sehat. Namun beberapa psikiatris, psikoanalisis, dan psikolog masih percaya
bahwa orientasi seks sesama jenis adalah sebuah gangguan jiwa yang masih bisa
disembuhkan.
Kesimpulannya,
perbedaan jenis kelamin manusia hanya terbagi menjadi dua macam, yakni pria (male)
dan wanita (female). Namun berbeda dengan orientasi seksual seseorang
yang memungkinkan ada perbedaan tentang derajat orientasinya. Alfred Kinsey
(1948), seorang ahli biologi yang beralih menjadi sexolog menggolongkan variasi
orientasi seks seseorang ke dalam sebuah kontinum, antara seseorang yang
benar-benar heteroseksual (exclusively heterosexual) dan benar-benar
homoseksual (exclusively homosexual).
0
Exclusively
Heterosexual
|
1
|
2
|
3
Bisexual
|
4
|
5
|
6
Exclusively Homosexual
|
0
Exclusively
heterosexual
1
Predominantly
heterosexual, only incidentally homosexual
2
Predominantly heterosexual,
but more than incidentally homosexual
3
Equally
heterosexual and homosexual
4
Predominantly
homosexual, only incidentally heterosexual
5
Predominantly
homosexual, but more than incidentally heterosexual
6
Exclusively
homosexual
Gambar 1. Kontinum Heteroseksual-Homoseksual Kinsey
B.
Definisi dan Teori Homoseksual
Secara mendasar homoseksual didefinisikan sebagai kelainan
orientasi seksual yang terjadi ketika seseorang memiliki preferensi seksual
kepada sesama jenisnya—jenis kelamin atau identitas gender yang sama. Laki-laki
yang homoseks disebut gay, sedangkan jika perempuan yang homoseks disebut lesbian.
Menurut Savin-Williams (2005), seorang gay atau lesbian mengacu pada salah satu
atau lebih dari karakteristik di bawah ini:
- Same-sex feeling : memiliki ketertarikan kepada sesama jenis,
- Same-sex behaviour : pernah berhubungan seks dengan sesama jenis, dan
- Mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai gay atau lesbian.
Namun berdasarkan saran dari APA (1991), bahwa sebutan gay dan
lesbian adalah bukan homoseksual. Karena terdapat beberapa masalah dalam label
homoseksual, antara lain: 1) Karena dalam sejarah, homoseksual dihubungkan dengan
konsep penyimpangan dan sakit mental, hal ini dapat mengundang streotip negatif
terhadap gay dan lesbian, 2) Istilah ini sering digunakan hanya untuk pria
saja, hal ini menggambarkan tidak tampaknya lesbian, 3) Hal ini sering memiliki
arti yang ambigu yaitu apakah mengacu pada perilaku seksual atau orientasi
seksualnya.
Banyak kajian dan penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang
berusaha menjelaskan bagaimana seseorang bisa menjadi gay atau lesbian. Mereka
menjelaskannya ke dalam tiga teori besar: biologi, psikiatri, dan teori
sosiologi:
Teori Biologi
Orientasi
seksual kepada sesama jenis, menurut ahli biologi dihubungkan dengan tiga
faktor: keadaan hormonal, gen, dan otak.
- Dijelaskan bahwa seorang gay atau lesbian memiliki hormon sex yang lebih sedikit dibanding pria atau wanita normal. Namun terdapat kritik pada teori ini yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hormonal antara gay atau lesbian dengan pria atau wanita pada umumnya (Burr, 1996; Porter, 1996).
- Alasan biologis selanjutnya adalah karena faktor keturunan, sehingga memang secara gen orang sudah dilahirkan sebagai gay atau lesbian.
- Simon Le Vay (1996) dan Ridley (1996), menemukan bahwa terdapat perbedaan ukuran hipotalamus dan macam-macam syaraf pengendali dorongan seksual di bagian bawah otak. Gay dan lesbian memiliki ukuran otak yang lebih kecil dibanding manusia pada umumnya.
Teori Psikiatri
Pada tahun
1973, secara resmi APA menganggap bahwa homoseksual adalah normal secara
kejiwaan. Namun juga tidak sedikit psikiater dan psikolog yang masih
mempertahankan keyakinannya dan berusaha untuk “mengobati” gay dan lesbian.
Menurut teori
psikiatri, gay dan lesbian awalnya muncul karena abnormalitas hubungan orang
tua dan anak. Seorang gay mengidentifikasikan diri pada ibunya karena ia sering
“disiksa” ayah, begitu juga sebaliknya (Socarides et al, 1997; Herman &
Duberman, 1995).
Teori Sosiologi
Teori
sosiologi, khususnya para sosiolog positivistik menganggap bahwa terjadinya gay
dan lesbian seperti halnya seseorang yang tumbuh dan terbiasa menggunakan
tangan kiri. Secara biologis memang bisa saja seseorang memiliki kemungkinan
untuk menjadi gay atau lesbian sejak lahir, namun itu masih tergantung intensitas sosialisasi
orang tua kepada anaknya tentang homoseksualitas dan heteroseksualitas.
Pendekatan Behavior dan Kognitif
Dalil dasar tentang perilaku manusia menurut pendekatan
behavioristik adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan
dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku.
Pendekatan behavioristik memandang setiap orang memiliki
kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada
dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari (Corey, 2007).
Lebih lanjut lagi Durant dan
Barlow (2006), menjelaskan bahwa perilaku manusia, termasuk disfungsinya,
berdasarkan prinsip-prinsip belajar dan adaptasi yang diambil dari psikologi
eksperimen. Itu artinya pendekatan behavioristik lebih condong kepada teori
belajar sosial (social learning theory) atau juga disebut observational
learning dan teori pengondisian untuk menjelaskan perilaku menyimpang.
Menurut pandangan kedua teori tersebut, fenomena gay dan lesbian cenderung
lebih dikarenakan oleh proses sosialisasi yang salah. Mereka yang gay dan
lesbian pada awalnya hidup di lingkungan yang memang menerima keberadaan gay.
Mereka beradaptasi dengan lingkungan yang ada dengan menginternalisasi
nilai-nilai yang dianut lingkungan ke dalam dirinya (modeling). Sehingga
dalam hal ini peran serta reference group sangat berpengaruh. Bisa saja
pada kelompok bermain di sekolahnya, kelompok arisan, kelompok belanja, ataupun
perilaku keluarganya yang dijadikan sebagai kelompok acuan.
Teori tersebut akan lebih pas jika diperkuat dengan pendapat B.F
Skinner tentang teori operant conditioning-nya. Bahwa perilaku modeling
yang terjadi akan diperkuat (diberikan reinforcement) dengan adanya
pengakuan dan penerimaan dari lingkungannya. Sehingga seseorang akan lebih
yakin bahwa apa yang ia lakukan (baik feeling, perilaku, maupun identifikasi diri
homoseksual) adalah benar. Seandainya ketika proses identifikasi orientasi
seksual kepada kelompok referensi tersebut mendapat penolakan dari lingkungan
sosialnya yang lain, tentu pilihan menjadi seorang gay atau lesbian akan
sedikit demi sedikit hilang (extinction).
Analisa dari teori ini tentunya akan mengembangkan mitos bahwa jika
seorang anak hidup dengan orang tua yang homoseks, tentunya jika mereka besar
mereka juga akan menjadi homoseks. Namun tidak demikian dengan hasil penelitian
Stacey dan Biblarz (2001), mereka menemukan bahwa anak-anak yang diasuh oleh
orang tua yang homoseks ketika dewasa mereka tetap tumbuh menjadi orang yang
heteroseksual.
Intinya adalah behaviorisme dari J.B. Watson menyatakan dengan
tegas bahwa: “manusia bereaksi terhadap lingkungan (environment). Karena
itu, manusia belajar dari lingkungannya.” (Sarwono, 1991 dalam Sarwono, 1999).
Jika keberadaan gay dan lesbian dipandang dari perspektif
kognitif—terutama dalam hal ini akan digunakan pendekatan menurut pencetus
terapi realitas, William Glasser; maka sebenarnya perilaku tersebut hanyalah
sebuah pencapaian prestasi seseorang. Karena menurut Glasser dan Zunin (1973
dalam Corey, 2007), bahwa setiap individu memiliki kekuatan ke arah kesehatan
atau pertumbuhan. Pada dasarnya orang-orang ingin puas hati dan menikmati suatu
identitas keberhasilan, menunjukkan tingkah laku yang bertanggung jawab dan
memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna.
Gay dan lesbian menurut pandangan ini secara sengaja membuat
keputusan menjadi seorang gay atau lesbian untuk memenuhi kebutuhan dirinya
akan identitas (mencakup kebutuhan untuk merasakan keunikan). Dalam prosesnya,
pembentukan identitas sebagai seorang gay maupun lesbian tentu tidak lepas dari
cinta dan penerimaan dari orang lain.
Kenyataan tersebut turut mendukung keputusan APA untuk menghapus
perilaku homoseksual dari daftar penyakit gangguan jiwa karena memang pada
dasarnya orang-orang homoseksual secara sadar melakukannya dan secara kejiwaan
mereka sehat. Pandangan kognitif dari Glasser ini dibangun atas asumsi bahwa
manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Bahwa masing-masing orang
berhak mengambil keputusan dan bertanggung jawab menerima
konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya.
Corey,
Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, Edisi kedua,
Terjemahan: E. Koswara. Refika Aditama: Bandung.
Durand,
V. Mark & Barlow, David H. Intisari Psikologi Abnormal, Terjemahan:
Soetjipto & Soetjipto. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Indo
gay 22.wordpress.com/.../definitif. Dikunjungi tanggal 24 Desember 2012.
Nevid,
Jefrey S. et al. ____. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 2. ___
Sarwono,
Sarlito Wirawan. 1999. Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Balai
Pustaka: Jakarta.
Thio,
Alex. 2010. Deviant Behavior, Tenth Edition. Pearson: United States of
America.
Wordpress.com/.../homoseksual, gay, lesbian.
Dikunjungi tanggal 24 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar