Dalam analisis ini hanya akan diambil beberapa hal yang cenderung
sama pada hampir semua pondok pesantren salaf yang ada di Indonesia. Meskipun
setiap pesantren memiliki ciri khas dan manajemen pengelolaan tersendiri, namun
ada beberapa persamaan yang cukup menonjol di semua pesantren salaf. Seperti
kepadatan jumlah santri dalam pesantren, kemandirian, survivalitas, metode
pengajaran dan pendidikan, pengabdian, rentang usia santri, dan juga hubungan
sosial antarsantri dan dengan masyarakat sekitar pesantren.
Dilihat dari konteks ekologis, keadaan lingkungan di beberapa
pesantren salaf tidak jauh berbeda alias cenderung sama. Secara demografis,
mereka hidup dalam populasi yang cukup padat, setidaknya rata-rata di semua
pesantren untuk ukuran kamar sedang (4 x 5m) dihuni sekitar 8 – 12 santri. Kepadatan
jumlah penduduk masyarakat pesantren yang notabene adalah individu yang belajar
hidup mandiri karena jauh dari orang tua, akan menuntut individu tersebut untuk
survival mempertahankan hidup (dalam konteks persaingan hidup dengan
santri lain).
Selain itu dengan padatnya aktifitas mereka di pesantren, pola
makan mereka cenderung tidak teratur meskipun manajemen pesantren sudah
memberikan waktu luang untuk istirahat, sholat, makan, dan persiapan kegiatan
selanjutnya. Sehingga mereka cenderung mengesampingkan waktu makan dan lebih
memilih “nandon makanan” (tandon: tempat mengumpulkan air) untuk persiapan
kegiatan selanjutnya. Hal tersebut dilakukan agar selama kegiatan berlangsung
tidak ada masalah dengan perut yang lapar.
Kenapa mereka harus menghindari lapar? Karena dengan hidup jauh
dari keluarga dan dunia luar, rasa lapar akan menjadi sebuah reinforcement
negatif agar mereka terhindar dari aktifitas mencari makanan yang cukup
rumit bagi mereka. Aktifitas pesantren yang cukup padat membatasi mereka dalam
mencari makanan di kantin (yang hanya dibuka ketika jam senggang santri atau
hanya diperbolehkan membeli makanan di kantin usai kegiatan), warung, maupun
waktu untuk memasak makanan sendiri. Keadaan mereka akan berbeda jauh dengan
kehidupannya di rumah, ketika mereka lapar akan sangat mudah mendapatkan
makanan, baik itu tinggal melihat isi dapur atau keluar rumah memanggil tukang
mie ayam. Berlatar belakang hal tersebut, mereka juga mulai mengesampingkan
tentang sanitasi makanan yang menurut mereka apapun itu asalkan masih “layak”
dimakan.
Dari beberapa faktor lingkungan tersebut, mereka mulai membiasakan
diri dengan makan dalam jumlah banyak dan memunculkan konsep bahwa “apapun
makanannya, asalkan halal dan dalam batas masih enak dimakan yang penting perut
tidak sampai lapar”.
Jika dipandang dari konteks sosiopolitik yang bisa membentuk budaya
berperilaku khas tersebut, tidak lepas dari pengaruh interaksi antara berbagai
etnis, antarusia (anak-anak, remaja, dewasa jadi satu), dan antarkelompok dengan
strata sosial yang berbeda. Beberapa pesantren salaf yang ada di dalamnya juga terjadi
interaksi positif dengan masyarakat kampung sekitar. Sehingga dalam keadaan
tersebut sangat mungkin terjadi akulturasi budaya etnis lain oleh sebagian
santri yang tergolong masih anak-anak dan remaja karena notabene mereka masih
dalam tahap pencarian identitas.
Lebih jelas lagi dari faktor variasi usia, sebuah asrama yang dihuni
oleh usia yang bervariatif mulai dari anak s.d. dewasa hidup dalam satu
komunitas yang saling berinteraksi setiap hari dalam banyak kegiatan dan
aktifitas harian. Sekilas dari gambaran demografis, komunitas yang seperti ini
akan memunculkan pencampuran pengaruh hasil dari interaksi perbedaan faktor usia
yang ditunjang dengan berkumpulnya berbagai etnis dan kebudayaan dari berbagai
daerah yang memiliki ciri khas masing-masing. Sehingga kegiatan remaja dan
dewasa, akan dilakukan bersama dan juga “diajarkan” kepada anak-anak. Budaya
dari daerah A, akan dipertemukan dengan budaya dari daerah B yang akan
menjadikan budaya baru pencampuran dari dua budaya atau bahkan lebih. Sehingga mixed-cultural
akan terus ada, diturunkan, dan akan terus berkembang.
Mixed cultural yang
berkembang dan diturunkan atarangkatan santri dalam hal ini berupa perilaku
makan. Perkembangan perilaku tersebut diawali dari didominasinya populasi
santri dari kalangan status ekonomi yang mayoritas dari kalangan menengah ke
bawah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa-masa awal berdirinya pesantren di
Indonesia juga didominasi dari kaum abangan bukan dari kaum bangsawan, sehingga
perilaku masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang mayoritas masih menekankan
pada kebutuhan dasar yakni makan dan minum telah menjadi budaya yang identik
dengan kehidupan santri pesantren salaf. Pengaruh dominasi masyarakat dari
kalangan menengah ke bawah ini penting untuk diamati karena pola perilaku
mereka jelas akan mewarnai dan akan dijadikan sebagai reference group
bagi kelompok/santri baru.
Transmisi budaya kelompok menjadi budaya unik individu di sini
tidak disertai dengan pemindahan budaya melalui genetik. Karena masyarakat
pesantren tidak selamanya berada di pesantren dan berketurunan di pesantren.
Suatu saat mereka akan kembali ke daerah asal mereka masing-masing sehingga
perubahan budaya tersebut tidak sampai merubah secara genetikal. Akibatnya,
budaya unik yang sudah dilestarikan di pesantren suatu saat juga bisa luntur
seiring dengan seberapa lama ia meninggalkan pesantren.
Pemindahan budaya ini setidaknya diturunkan melalui sistem among
yang sudah dilakukan di semua pesantren di Indonesia. Yakni, santri senior akan
merawat (Jawa: ngemong), mendidik hidup mandiri, dan mendampingi proses
belajar santri baru. Melalui proses inilah, pengemong alias santri
senior akan menjadi model bagi santri baru. Bagaimana santri senior makan,
belajar, mandi, jam tidur, bermain, mencuci baju dsb akan menjadi contoh
perilaku dan budaya santri baru kelak. Melalui sistem among tersebut, sangat
mungkin terjadi pemindahan budaya karena santri senior akan menggantikan posisi
orang tua/keluarga sebagai role of model bagi santri baru.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar