Apa Adanya: Menu sarapan santri salaf: nasi liwet lauk sayur tumis terong |
Di Indonesia ini, kita telah mengenal berdirinya pondok pesantren yang digagas oleh para penyebar agama Islam terdahulu, terutama oleh sepak terjang Walisongo di pulau Jawa. Pondok pesantren ternyata bukan hanya sebagai sentral tempat untuk mendalami ilmu agama bagi orang Islam, namun pada prakteknya pesantren juga merupakan suatu kelompok masyarakat tersendiri yang memiliki kebudayaan dan aturan kemasyarakatan tertentu.
Sebagai contoh, jika umumnya masyarakat menganggap bahwa barang yang bukan milik kita adalah barang orang lain yang harus dijaga dan sangat dilarang untuk memakai/mengambilnya, namun di kehidupan pesantren ternyata berbeda. Ada budaya yang tidak tertulis yang menyatakan bahwa “barang yang ada di luar/tidak disimpan (di almari dan sejenisnya) adalah milik umum, boleh dimakan/boleh dipakai”, sehingga semisal ada makanan yang dibiarkan begitu saja di atas almari, itu artinya: “Selamat menikmati”.
Budaya yang sudah terbentuk ini juga memunculkan beberapa masalah seperti ghosob. Ghosob adalah perilaku meminjam barang orang lain tanpa sepengetahuan dan izin pemilik yang sah. Meskipun himbauan maupun larangan yang berujung pada sanksi sudah diberikan, lantas tidak membuat budaya ghosob ini hilang dari dunia pesantren.
Selain budaya tentang kepemilikan barang, masyarakat pondok pesantren (terutama pesantren salaf- bukan ponpes modern) juga memiliki kebudayaan khas seperti pola makan dengan menu apa adanya (lauk apapun, dalam kondisi makanan apapun) dan relatif makan dalam jumlah banyak. Bahkan dalam bahasa kasar masyarakat Jawa dikatakan “mending dikekno arek pondok timbang dipakakne pithik” (lebih baik diberikan santri pesantren daripada dijadikan makanan ayam) karena makanan apapun yang diberikan kepada santri pesantren tidak akan pernah tersisa.
Budaya lain di pesantren yang muncul berkenaan dengan pola makan yang seperti itu, juga diimbangi dengan buruknya konsep mereka tentang sanitasi makanan. Bagi masyarakat pada umumnya, minum air mentah langsung dari kran sumber air yang berlumut mungkin akan membuat mereka sakit perut dan mual dengan keadaan kran yang “kotor”. Namun, sekali lagi budaya pesantren salafiyah tidak demikian, banyak santri yang sudah 10 tahun berada di pesantren juga minum air kran mentah selama 10 tahun terbukti tidak ada efek baik secara medis maupun pada kecerdasan mereka. Selain air minum, alat masak, wadah makan, dan lain-lain kotor menurut kita belum tentu kotor bagi mereka.
Hal yang menarik dari di sini bahwa dari sekian banyak kebudayaan mereka yang tentu ganjil bagi masyarakat pada umumnya, namun budaya yang mereka bentuk di pesantren hanya berlaku saat mereka berada di wilayah pesantren saja. Ketika mereka sudah berpulang ke rumah masing-masing, tidak akan ada santri yang mau minum air mentah, jumlah makan mereka wajar-wajar saja, dan tentunya konsep kepemilikan dan konsep sanitasi makanan bagi santri yang sudah pulang tersebut cenderung “normal” sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku.
Terlebih lagi bahwa budaya tersebut juga tidak mempengaruhi kecerdasan dan sikap mereka ketika terjun di masyarakat. Terbukti sudah berapa jebolan pesantren salafiyah yang notebene seperti tergambarkan di atas, justru malah menunjukkan prestasi yang baik di masyarakat. Seakan-akan tidak ada korelasi antara sanitasi dan pola makan yang buruk terhadap kesehatan dan kecerdasan.
Terlepas dari itu semua, budaya yang terbentuk bisa kita analisa melalui perspektif ekokultural. Pendekatan yang berpendapat bahwa ada imbal balik antara adaptasi biologi dan adaptasi budaya terhadap konteks ekologi dan konteks sosiopolitik tertentu yang membentuk perilaku khas individu. Inilah kehidupan santri dengan berbagai kreatifitas dan keunikannya. (wdy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar