Perbedaan jam tidur atau setidaknya
kondisi mengantuk rata-rata setiap orang berbeda-beda. Dalam hal ini bisa kita
bandingkan antara jam rata-rata mengantuk orang yang hidup di pedesaan dengan
orang yang hidup di perkotaan, secara umum mereka berbeda. Ada masyarakat yang
sudah tidur pada pukul 20.00, ada juga yang baru bisa tidur setelah jam 23.00.
Perbedaan ini dapat kita amati melalui pendekatan ekokultural di mana budaya
jam tidur antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan bisa
dipengaruhi dari faktor ekologi dan kultur budaya masyarakat yang ada.
Hal yang paling mencolok yang menyebabkan
suatu kelompoj masyarakat memiliki kebiasaan tidur lebih sore adalah kondisi
lingkungan yang mendukung. Dengan keadaan lingkungan yang sepi, jauh dari
kebisingan, kondisi udara yang sejuk, dan kondisi lingkungan yang masih rindang
akan pohon-pohonan akan lebih mendukung kondisi seseorang untuk lebih
mengantuk. Keadaan lingkungan pedesaan yang seperti itu akan lebih berpengaruh
jika suatu lingkungan pedesaan masih minim penerangan. Jalan-jalan sebagian
besar masih gelap, hanya ada penerangan di pertigaan maupun di perempatan jalan
saja.
Kondisi lingkungan lain yang mendukung
adalah bentuk pekerjaan rata-rata masyarakat pedesaan. Mereka mayoritas masih
tergantung dengan pekerjaan fisik yang melelahkan seperti mencangkul, membajak,
menyabit, dan pekerjaan fisik lainnya. Dengan kondisi pekerjaan yang seperti
itu, otot-otot mereka lebih membutuhkan banyak istirahat. Kebanyakan masyarakat
desa melakukan aktifitasnya sejak pagi setelah subuh sampai maksimal pukul
13.00. Setelah itu mereka istirahat siang dan hampir tidak ada aktifitas yang lain
di sore hari selain berkumpul dengan warga lain, melakukan aktifitas keagamaan,
atau berdiam diri di rumah dengan keluarga.
Budaya kolektivitas masyarakat pedesaan
yang masih kental sangat nampak ketika mereka melakukan perkumpulan-perkumpulan
(jam’iyah) keagamaan, tadarrus, perkumpulan membaca diba’/sholawat, kenduri,
maupun kegiatan keagamaan lain. Selain itu, dalam masyarakat pedesaan juga
masih cukup kental berkembang mitos-mitos hal gaib dari cerita-cerita rakyat
yang memang sengaja dikembangkan. Anak-anak mereka akan diberi cerita-cerita
gaib agar mereka tidak keluyuran di malam hari. Dengan kondisi lingkungan yang
masih relatif gelap dan rimbun, cukup mudah untuk memberikan pengaruh
cerita-cerita hal-hal gaib kepada anak-anak mereka. Waktu setelah matahari
tenggelam dipercaya sebagai waktu di mana banyak makhluk-makhluk gaib keluar
dari “tempatnya”. Beberapa tokoh gaib pun banyak dikisahkan seperti: wewegombel,
kuntilanak, gendruwo, dan sahabat-sahabatnya yang pada awalnya
berasal dari pengalaman mistis seseorang. Kemudian dikembangkan dipakai untuk
menakut-nakuti anak kecil yang suka menangis di malam hari atau yang masih
ingin bermain ketika matahari sudah terbenam.
Melalui keadaan lingkungan yang
mendukung, budaya kolektivitas yang masih kental, pekerjaan masyarakat yang
melelahkan sehingga membutuhkan lebih banyak mengistirahatkan otot, dan juga
diperkuat dengan larangan keluar setelah matahari terbenam karena kepercayaan
terhadap hal-hal gaib membuat pola tidur masyarakat pedesaan cenderung lebih
sore dibanding masyarakat perkotaan. Budaya ini juga diturunkan melalui
transmisi lingkungan, akulturasi, budaya masyarakat, dan juga sebagian kecil
juga diturunkan dalam genetika seseorang. Sehingga individu-individu yang hidup
di daerah pedesaan akan lebih mudah mengantuk dan sudah tidur rata-rata tidak
melebihi jam sembilan malam.